Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo mengumumkan pada hari Selasa bahwa ia telah menandatangani peraturan yang mewajibkan platform digital untuk membayar uang kepada outlet media yang menyediakan konten kepada mereka.
Saat mengumumkan keputusan presiden tentang hak penerbit, pemimpin Indonesia Katanya, itu aturannya Hal ini dirancang untuk “memastikan kerja sama yang adil antara media dan platform digital.”
“Pemerintah tidak mengatur konten jurnalistik, tapi mengatur hubungan komersial antara jurnalisme dan platform digital,” ujarnya kepada New Straits Times dalam pidatonya pada perayaan Hari Pers Nasional di Jakarta. tersebut.
“Kami juga ingin memastikan keberlanjutan industri media nasional, dan kami ingin kerja sama yang lebih adil antara perusahaan surat kabar dan platform digital,” tambahnya. “Kami ingin memberikan kerangka hukum yang jelas.”
Pertama kali diusulkan dua tahun lalu, undang-undang ini terinspirasi oleh undang-undang serupa di negara lain, termasuk Kode Tawar-menawar Media Berita Australia, yang mewajibkan Google dan Meta, perusahaan induk Facebook, untuk memberikan kompensasi kepada organisasi media atas konten yang dipublikasikan di platform mereka. sejak mulai berlaku Pada bulan Maret 2021, “Google dan Facebook (sekarang dikenal sebagai Meta) mencapai perjanjian komersial sukarela dengan sejumlah besar organisasi media berita.”
berdasarkan laporan ReutersSeorang juru bicara Google mengatakan pihaknya berencana untuk meninjau peraturan tersebut dan bahwa mereka “bekerja sama dengan penerbit berita dan pemerintah untuk membangun ekosistem berita yang berkelanjutan di Indonesia,” dalam penyusunan ulang peraturan kantor berita tersebut.
Meta, perusahaan induk Facebook, merespons kemarin dengan mengatakan pihaknya yakin undang-undang tersebut tidak mengharuskannya membayar penerbit berita atas konten yang mereka terbitkan secara sukarela di platformnya. “Setelah beberapa putaran konsultasi dengan pemerintah, kami menyadari bahwa Meta tidak lagi diharuskan membayar konten berita yang diterbitkan secara sukarela oleh penerbit di platform kami.” Dikutip oleh Rafael Franklkata Direktur Kebijakan Publik Meta untuk Asia Tenggara.
Langkah ini mencerminkan semakin besarnya keinginan pemerintah negara-negara Asia Tenggara untuk melenturkan peraturan mereka guna memastikan kepentingan raksasa teknologi asing selaras dengan kepentingan ekonomi dan politik mereka. Hal ini tidak mengherankan, mengingat sejauh mana media sosial telah mendominasi ruang publik di negara-negara tersebut. Daerah tersebut meliputi Empat dari sepuluh negara Dengan basis pengguna Facebook terbesar di dunia dan Tiga dari 10 Dengan jumlah pengguna TikTok terbanyak.
Hal ini diwujudkan dalam bentuk upaya untuk menegakkan penghapusan “misinformasi”, konten palsu, atau konten yang dianggap melanggar hukum setempat, dan agar perusahaan-perusahaan ini menyimpan data secara lokal.
Indonesia, yang memiliki kelompok pengguna Facebook terbesar ketiga di dunia dan konsentrasi pengguna TikTok terbesar kedua di dunia, termasuk di antara negara-negara yang aktif dalam hal ini. Tahun lalu, TikTok melarang transaksi e-commerce di jaringan media sosial untuk melindungi penghidupan puluhan juta pemilik usaha kecil. Hal ini merupakan pukulan berat terhadap rencana ekspansi regional TikTok. Pemerintah juga memperkenalkan aturan yang mewajibkan platform digital untuk menyerahkan data pengguna dan mematuhi perintah moderasi konten dari pemerintah.
“Baconaholic. Penjelajah yang sangat rendah hati. Penginjil bir. Pengacara alkohol. Penggemar TV. Web nerd. Zombie geek. Pencipta. Pembaca umum.”
More Stories
Jadwal dan tempat menonton di TV
Kampanye 'Bebaskan Papua Barat' beralih ke media sosial untuk mendapatkan dukungan internasional. · Suara Global dalam bahasa Belanda
Dolph Janssen dan pacarnya Jetski Kramer di X Under Fire untuk Liburan di Indonesia (Lihat Berita)