BALICITIZEN

Ikuti perkembangan terkini Indonesia di lapangan dengan berita berbasis fakta PosPapusa, cuplikan video eksklusif, foto, dan peta terbaru.

Jalan menuju minyak sawit berkelanjutan di Indonesia masih panjang

Jalan menuju minyak sawit berkelanjutan di Indonesia masih panjang

Mina Sitra, dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), yang berkampanye untuk melestarikan cara hidup tradisional masyarakat adat, khawatir bahwa perusahaan kelapa sawit akan terus berekspansi “sampai kita terpuruk ke laut.” Menurutnya, minyak sawit hanya boleh diproduksi dengan cara yang berkelanjutan, karena metode perkebunan yang ada saat ini mengancam akan melemahkan perekonomian lokal, masyarakat adat, dan keanekaragaman hayati Indonesia.

Konsumsi minyak sawit telah meningkat sebesar 7 persen per tahun selama 20 tahun terakhir, menurut angka baru dari Badan Penelitian dan Pasar di Dublin. Pada tahun 2014, Indonesia memproduksi 31 juta ton minyak sawit. Malaysia dan Indonesia bersama-sama menghasilkan 85 persen produksi minyak sawit dunia.

Produksi makanan

“Sektor kelapa sawit mempunyai nilai nyata yang kecil bagi perekonomian Indonesia.”

Meskipun produksi tahun ini diperkirakan lebih rendah dibandingkan tahun 2014, industri ini terus berkembang pesat. Jutaan hektar hutan ditebangi untuk dijadikan perkebunan. Juru bicara pemerintah dan industri Indonesia menyatakan bahwa sektor ini menciptakan lapangan kerja dan bermanfaat bagi penduduk lokal.

Sebuah studi baru-baru ini yang dilakukan oleh Rights and Resources Initiative (RRI) di Washington menunjukkan bahwa investor besar dan perusahaan yang menguasai 80 persen pasar global sangat mendukung sektor ini.

“Sektor kelapa sawit mempunyai nilai riil yang kecil terhadap perekonomian Indonesia. Kontribusi rata-rata tanaman pertanian, termasuk kelapa sawit dan karet, terhadap PDB adalah sekitar 2,2 persen setiap tahunnya,” kata laporan tersebut.

Produksi pangan merupakan sumber pendapatan dan lapangan kerja terpenting di daerah pedesaan. Dua pertiga pekerja pedesaan, atau sekitar 61 juta orang, bekerja di sektor ini. Produksi minyak sawit hanya menempati peringkat kedelapan dalam hal lapangan kerja di pedesaan. Sekitar 1,4 juta orang bekerja di sektor ini.

READ  Sutina "badut sedih" melambangkan kemiskinan Corona di Indonesia

Celah dalam hukum

Industri ini mengalami penurunan keuntungan sebesar 15 persen tahun lalu, namun memperkirakan akan memperoleh lebih banyak keuntungan lagi tahun ini dengan harga antara 470 dan 570 euro per ton. Namun, banyak produsen di Indonesia dan Malaysia yang menuntut pemotongan gaji agar keuntungan tetap tinggi.

Para ahli berpendapat bahwa keuntungan ini tidak menjangkau penduduk lokal. Model ekonomi didasarkan pada patronase. “Sistem patronase ini adalah dasar bagi produksi, pemasaran dan distribusi minyak sawit. Sistem ini menghubungkan para pemain kunci di sektor ini melalui mekanisme yang sah, seperti asosiasi kelapa sawit yang sering kali terdiri dari para pemimpin lokal, pejabat senior, dan pengusaha berpengaruh yang mempunyai hubungan dekat. hubungan dengan para pemimpin nasional,” kata laporan RRI.

Para ahli menunjukkan bahwa keuntungan tidak sampai ke penduduk lokal. Model ekonomi didasarkan pada patronase.

Aktivis seperti Citra mengklaim industri ini memanfaatkan celah hukum untuk terus memperluas lahan pertanian. Misalnya, pemerintah Indonesia telah memberlakukan larangan pembukaan hutan untuk perkebunan baru, dalam upaya untuk meyakinkan para ilmuwan, negara-negara Barat, dan masyarakat yang khawatir terhadap monokultur dan hilangnya hutan hujan.

Namun larangan ini hanya berlaku pada izin baru, bukan izin yang sudah ada. Oleh karena itu, perusahaan yang memiliki izin jangka panjang dapat melanjutkan aktivitasnya. Para aktivis mengatakan bahwa bahkan dengan intervensi pemerintah pusat, perusahaan-perusahaan menggunakan koneksi lokal mereka dengan politisi berpengaruh untuk menghindari peraturan. “Ini adalah sistem jahat yang terus berlanjut,” kata Citra.

Tidak berkelanjutan

Ketika aktivis lokal membela hak-hak mereka, hal ini berujung pada isolasi atau kriminalisasi.

Menurut Bryson Ogden, seorang analis di RRI, industri ini disusun sedemikian rupa sehingga penduduk lokal tidak mempunyai hak untuk ikut campur. “Yang paling dirugikan adalah masyarakat lokal yang kehilangan tanah dan pendapatan mereka dan berakhir di perekonomian baru dalam kondisi yang tidak menguntungkan.”

READ  Pandangan baru tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia, sebagian berkat Tinder

Ketika para aktivis lokal membela hak-hak mereka, kampanye semacam ini seringkali berakhir dengan mengasingkan seluruh komunitas atau membuat aktivitas mereka dikriminalisasi. Pada bulan Juli 2014, seorang demonstran ditembak mati oleh polisi di Kalimantan Selatan saat melakukan protes. Pesan serupa berasal dari 28 Januari tahun ini. Kemudian seorang pengunjuk rasa ditembak mati di Jambi, di pantai timur Sumatera.

“Masyarakat yang sudah turun-temurun hidup dari lahan di sini kini dipandang sebagai penjahat karena ingin mempertahankan cara hidup mereka,” kata Citra. Ia yakin bahwa tanpa kampanye internasional yang menyoroti dampak produksi minyak sawit terhadap masyarakat lokal, perusahaan tidak akan mengubah perilaku mereka.

Ada pula yang melihat masalahnya adalah kurangnya data. Informasi mengenai dampak sosial dan ekonomi dari produksi minyak sawit tidak mencukupi, kata Scott Boynton, pendiri The Forest Trust (TFT), sebuah organisasi lingkungan hidup. Fokus terhadap deforestasi di Indonesia dan negara-negara lain adalah hasil kerja keras LSM-LSM yang berkomitmen terhadap permasalahan ini, serta perangkat seperti Global Forest Watch yang dikeluarkan oleh World Resources Institute, ujarnya. Global Forest Watch adalah sistem yang memetakan deforestasi sehingga masyarakat dapat memperoleh informasi mengenai hal tersebut dengan cepat dan murah.

Menurut World Wildlife Fund, Indonesia dan Malaysia telah menebangi 3,5 juta hektar hutan dalam 35 tahun terakhir untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.