Bulan ini menandai peringatan 50 tahun dimulainya pembersihan anti-komunis di Indonesia yang menewaskan hampir satu juta orang antara tahun 1965 dan 1966.
Pembantaian tersebut tidak hanya menghancurkan nyawa manusia tetapi juga menghancurkan artefak budaya yang dibuat oleh seniman-seniman sayap kiri di negara tersebut. Gulungan film khususnya telah lebih banyak dilenyapkan dibandingkan bentuk seni lainnya seperti sastra atau lukisan. Penghancuran brutal, pengabaian, dan penindasan yang disengaja melengkapi proses penghapusan strip film yang rapuh.
Kudeta dan Akibat Bagi Bakhtiar Siajian
Bakhtiar Siajian, yang bisa dibilang sebagai sutradara dan ahli teori film sayap kiri paling penting di negara ini, termasuk di antara jutaan orang yang menjadi korban pembersihan anti-komunis. Dia dipenjara tanpa pengadilan selama 12 tahun, kemudian dibebaskan dari penjara pada bulan Desember 1977.
Siajian sedang membuat film dokumenter di sebuah konferensi di Tokyo ketika percobaan kudeta pada pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, berhasil digagalkan dalam beberapa jam oleh komando tinggi militer. Kudeta yang gagal menjadi dalih untuk tindakan keras Jenderal Soeharto terhadap komunisme dan meletakkan dasar bagi pemerintahan jangka panjang Soeharto.
Beberapa minggu setelah kembali dari Jepang, Siajian menyadari hidupnya dalam bahaya. Dia membaca di sebuah artikel surat kabar bahwa pihak berwenang telah menawarkan hadiah uang tunai untuk penangkapannya. Dia bersembunyi tetapi ditangkap pada awal tahun 1966.
Founding Father sinema Indonesia?
Karier film Siagian berlangsung pada tahun 1955–1965, periode konflik paling terbuka antara ideologi dan kepentingan, sering kali secara sederhana ditampilkan sebagai pertikaian antara agama dan komunisme. Sinema telah terjebak dalam konflik ini secara langsung melalui pertikaian antara Organisasi Pekerja Film (Partai Komunis Indonesia) yang terkait dengan PKI, SABUFIS, dan PPFI, sebuah aliansi produser film.
Dalam dekade tersebut, Siagian menulis dan menyutradarai 13 film layar lebar. Hal ini menjadikannya salah satu sutradara pribumi Indonesia paling produktif pada masanya, dalam industri yang didominasi oleh uang dan talenta Tionghoa perantauan.
Sejarah sinema yang ditulis pada masa Rezim Baru Suharto menggambarkan Siajyan sebagai seorang komunis yang mempolitisasi sinema, berbeda dengan Osmar Ismail, pembuat film pribumi lainnya, yang memimpin pembelaan sinema sebagai sebuah bentuk seni. Ismail akhirnya ditunjuk sebagai “Bapak Sinema Nasional” oleh arsiparis film resmi rezim baru.
Faktanya, Ismail dan Sayajian, yang lahir di Sumatra pada awal tahun 1920an, memiliki banyak perbedaan dalam banyak hal.
Terlahir dari keluarga bangsawan, Ismail menerima pendidikan Belanda yang hanya dicita-citakan oleh sedikit penduduk asli Indonesia di generasinya. Siajian adalah anak seorang pekerja kereta api yang tumbuh di antara anak-anak buruh tani. Bahwa ia bisa bersekolah adalah berkat seorang wanita Belanda yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Dia tidak menerima pendidikan formal apa pun selain sekolah dasar.
Seperti banyak pembuat film di generasinya, Siajyan mempelajari keahliannya selama pendudukan Jepang dari tahun 1942 hingga 1945. Pada tahun 1950, ia bergabung dengan Lycra, organ kebudayaan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pengalaman propaganda perang Jepang meyakinkan Siajian akan kekuatan politik sinema. Dia mulai banyak membaca dan menulis tentang sinema Rusia. Sebaliknya, Ismail terpesona dengan Hollywood, terutama setelah studi tur ke Amerika Serikat pada tahun 1953.
Kehidupan setelah penjara
Ketika saya pertama kali bertemu dengannya pada tahun 1981, Pak Bakhtiar berusia hampir enam puluh tahun dan hidup dalam kemiskinan ekstrem di pinggiran Jakarta. Ia bukan bagian dari jaringan mantan tapol yang muncul di Jakarta pada awal tahun 1980an. Berbeda dengan kebanyakan rekan sastranya (yang paling terkenal adalah Pramoedya Ananta Toer dan penerbitnya), ia juga tidak mendapatkan pengikut di kalangan pelajar dan intelektual muda yang telah dewasa sejak tahun 1965 dan sedang mencoba memahami warisan budaya mereka.
Siagian tidak pernah pandai mengikuti garis baik secara pribadi maupun artistik. Di masa aktifnya, ia kerap berbeda pendapat dengan pimpinan Partai Komunis Indonesia. Film-filmnya bertabrakan dengan badan sensor terlepas dari siapa yang bertanggung jawab atas dinamika yang selalu berubah pada tahun 1955-1965.
Dua warga Siagian dipindahkan dari penjara ke penjara selama penahanannya: pertama, Salimba di Jakarta; lalu Nusakambangan, pulau penjara yang terletak di lepas pantai selatan Jawa; Dan yang terakhir adalah Boro, koloni hukuman yang terkenal kejam di Maluku. Namun, masa hukumannya selama bertahun-tahun tidak melemahkan daya tariknya atau keyakinannya bahwa film hanya bisa menjadi sarana untuk menyampaikan ideologi.
Dia dilarang berpartisipasi dalam pekerjaan media setelah dibebaskan, dan dia menjalani kehidupan yang menyedihkan dengan menulis naskah film tanpa mengungkapkan identitasnya. Pekerjaan ini juga terhenti setelah tahun 1983, ketika pemerintahan Suharto mengeluarkan peraturan baru, dengan slogan halus “bersih lingkungan(Lingkungan Bersih), yang selanjutnya membatasi mantan tahanan politik dan keluarganya untuk bekerja di industri pendidikan dan media.
Siagian meninggal pada tahun 2002, tanpa diketahui oleh media.
Bioskop progresif?
Kita mungkin tidak akan pernah mengetahui film-film Siagian selain dari apa yang dapat dilihat dalam teks-teks beranotasinya. Baik ulasan kontemporer maupun serangan berikutnya terhadap Siajian tidak secara serius membantah bahwa film-filmnya mengandung propaganda komunis.
Siagian menulis naskah filmnya sendiri, yang untungnya sebagian besar masih bertahan. Entah ada nilai artistik dalam film-filmnya atau tidak, kisah-kisahnya jelas: melibatkan orang-orang yang secara sosial lemah dan tidak berdaya, Wong Selleck (secara harafiah berarti “orang kecil”) di Indonesia melakukan hal-hal besar meski menghadapi rintangan yang besar.
Film pertamanya, Kaput Decembre (Kabut Desember) (1955), hingga tahun 1980-an tetap menjadi satu-satunya film Indonesia yang memperlakukan pelacur sebagai hal yang hina. Pada tahun 1961, pimpinan Partai Komunis Indonesia berupaya menghentikan peredaran baja mimpara (pembakaran baja) karena dianggap pro-Islam.
Violetta, yang dibuat pada tahun 1962, adalah satu-satunya filmnya yang bertahan.
Film-film Bakhtiyar Sayajian diputar di festival-festival di Uni Soviet dan negara-negara Blok Timur lainnya. Jika film-filmnya yang lain tidak tersimpan di arsip negara-negara tersebut, Indonesia akan selalu mempunyai kesenjangan yang sangat besar dalam sejarah sinematiknya.
“Baconaholic. Penjelajah yang sangat rendah hati. Penginjil bir. Pengacara alkohol. Penggemar TV. Web nerd. Zombie geek. Pencipta. Pembaca umum.”
More Stories
Jadwal dan tempat menonton di TV
Kampanye 'Bebaskan Papua Barat' beralih ke media sosial untuk mendapatkan dukungan internasional. · Suara Global dalam bahasa Belanda
Dolph Janssen dan pacarnya Jetski Kramer di X Under Fire untuk Liburan di Indonesia (Lihat Berita)